GERAKAN MULTIAKTIVITAS AGRIBISNIS : PENDEKATAN MEMAJUKAN PERTANIAN ORANG SUNDA DITENGAH KETERBATASAN LAHAN !
GEMAR adalah sebuah akronim dari kalimat Gerakan
Multi-aktivitas Agribisnis. Ada tiga makna yang cukup baik untuk dicermati,
yaitu Gerakan, Multi-aktivitas dan Agribisnis. Gerakan menunjukkan makna
kebersamaan, keberlanjutan, keterpaduan, keserempakan, bahu membahu, dan tentu
saja terajut dalam sebuah pola yang sistemik. Dalam gerakan, para pihak yang
terlibat di dalam nya memiliki peran dan tanggungjawab sesuai dengan potensi,
kapasitas dan kompetensi nya masing-masingItulah sebab nya, mengapa yang nama
nya gerakan, senantiasa akan dilandasi oleh tumbuh nya “rasa memiliki”, “rasa
tanggungjawab” dan “rasa memajukan” dari para pihak yang ikut serta di
dalam-nya.
Multi-aktivitas adalah bahasa lain dari “banyak
kegiatan”. Dalam kaitan nya dengan pembangunan pertanian (dalam arti luas),
maka yang dimaksud dengan multi-ativitas adalah kegiatan yang dilaksanakan
tidak hanya satu aktivitas, misal hanya mengusahakan budi daya jagung, tapi
dalam waktu yang sama dilakukan juga kegiatan-kegiatan lainnya, seperti
mengembangkan ternak domba. Selain itu, bisa juga dilakukan kegiatan
perdagangan saprodi dan lain sebagai nya.
Agribisnis sendiri dipahami sebagai “bisnis
pertanian” atau “usaha pertanian. Agribisnis yang dibangun oleh berbagai
sub-sistem, tentu saja menjadi sebuah pilihan dalam mengelola usaha pertanian
secara profesional. Pola pertanian yang subsistem perlu dirubah menjadi lebih
modern. Keterpaduan antara off farm dan on farm, menjadi sebuah kebutuhan.
Untuk itu, agribisnis sering dipersepsikan sebagai konsep penyatuan sub-sistem
yang sangat berpengaruh terhadap efektivitas dan efesiensi usaha pertanian.
Disamping itu, agribisnis juga dinilai sebagai salah satu pendekatan pembangunan
pertanian yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan jaman.
JATI DIRI PETANI
Secara umum, yang nama nya “petani” di negara
kita, termasuk di Tatar Sunda, seringkali dilukiskan dengan sosok anak bangsa
yang berpakaian hitam-hitam, baik baju pangsi atau celana sontog nya,
menggunakan topi model caping dan membawa cangkul. Tampilan seperti itu,
mungkin saja cukup tepat, jika petani ingin diposisikan ke dalam dunia
tradisionalitas. Bahkan hamparan sawah yang luas, dilengkapi dengan seekor
kerbau yang siap membajak, boleh jadi akan menambah romantisme kehidupan petani
itu sendiri. Penampilan petani semacam ini, tentu saja akan sangat berbeda
dengan penggambaran petani di negeri nya Paman Sam. Di Amerika Serikat, para
petani nya tandang dengan celana jeans, baju biasa nya kotak-kotal dan
dilengkapi dengan topi laken dan traktor yang siap memanen hasil nya. Sosok petani
yang demikian, tentu saja mencirikan kemodernan, sekali pun di benak kita
terkesan ke-barat-barat-an.
Dari beberapa temuan yang ada, para peneliti,
biasa nya akan membagi petani ke dalam dua kelompok. Pertama adalah yang
dikatakan dengan “farmers” yaitu mereka yang menguasai lahan sawah dan
mengusahakan nya dengan baik; dan kedua adalah yang disebut dengan “peasant”
yaitu mereka yang selama ini kita kenali dengan julukan petani giurem (memiliki
rata-rata luas lahan sawah sekitar 0,3 hektar) atau petani buruh (mereka yang
sama sekali tidak memiliki lahan sawah sama sekali). Di negara kita, rasa-rasa
nya lebih pas jika petani disetarakan dengan yang nama nya “peasant”, mengingat
sebagian besar jumlah petani di tanah merdeka ini adalah para petani gurem dan
petani buruh. Sedangkan yang dikatakan dengan “farmers”, umum nya sangat
sedikit jumlah nya.
Dihadapkan pada suasana yang demikian, kelihatan
nya akan menjadi lebih relevan, jika sebelum dilakukan pembahasan yang lebih
jauh soal petani, maka ada baik nya kita perjelas dahulu siapa sebenar nya yang
dinamakan dengan petani itu ? Ukuran dan indikator nya bagaimana ? Apakah yang
nama nya petani itu harus berdaulat atas lahan sawah nya sendiri; atau kah ada
ukuran-ukuran lain yang lebih pas untuk disampaikan. Pertanyaan ini menarik
untuk dijawab dan dicarikan jalan keluar nya. Terlebih-lebih bila hal diatas
kita kaitkan dengan fenomena kehidupan yang selama ini kita temukan di
lapangan. Tumbuh-kembang atau dalam bahasa lain “menjamur” nya mereka yang
beratributkan “petani berdasi” atau “petani bersafari”, bisa saja bakal
menambah keruwetan yang mesti disolusikan secara cerdas, khusus nya kalau kita
ingin mempertegas siapa sebetul nya yang patut disebut sebagai petani itu
tersebut.
Upaya pendefinisian petani, tampak nya sudah
tidak mungkin akan ditunda-tunda lagi. Untuk itu, seiring dengan semangat untuk
melahirkan Undang Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, mesti nya para
perancang RUU ini, berani secara tegas untuk mendefinisikan petani. Dalam
Undang Undang inilah dicantumkan secara tegas siapa sebetul nya yang dimaksud
dengan petani di negeri merdeka ? Ketegasan sikap semacam ini mutlak dilakukan
agar setiap kebijakan yang diluncurkan Pemerintah, tidak menjadi salah sasaran
lagi. Kalau pun sekarang ini seolah-olah ada “keraguan” untuk mendefinisikan
petani mengingat beragam pertimbangan, namun bila kita cermati suasana yang ada
di sentra-sentra produksi pertanian, disana jelas terlihat bahwa yang disebut
petani adalah mereka yang keseharian nya menggarap, menyakap, menyewa dan sudah
jarang lagi kita temukan petani yang berdaulat atas lahan sawah yang diusahakan
nya.
ALIH FUNGSI LAHAN
Sebetul nya ada fenomena menarik terkait
kedaulatan petani atas lahan sawah yang dimiliki nya. Pertama muncul nya
suasana yang seolah-olah menunjukkan bahwa petani semakin tidak berdaulat atas
lahan sawah yang dimiliki nya dan yang kedua adanya gambaran bahwa di negeri
ini belum ada aturan main yang jelas soal “alih kepemilikan” lahan sawah itu
sendiri. Dari sinilah kemudian lahir pemikiran tentang siapa yang “menguasai”
dan siapa yang “mengusahakan” lahan sawah itu sendiri. Mereka yang menguasai
lahan sawah umumnya orang-orang kaya dan tinggal di kota-kota besar; sedangkan
mereka yang mengusahakan sawah ladang adalah bagian dari anak bangsa yang
tinggal di perdesaan, yang umum nya tidak menguasai lahan sawah itu sendiri.
Akibat nya kita jangan heran jika di dalam dunia pertanian, dikenal istilah
“petani berdasi” dan “petani gurem”. Dua istilah ini boleh saja kita katakan
“farmers” dan “peasant”.
Perbincangan soal alih fungsi lahan sawah menjadi
kawasan industri, pengembangan infrastruktur, perumahan dan pemukiman; memang
telah berlangsung cukup lama. Alih fungsi lahan yang tidak terkendali,
dikhawatirkan bakal melahirkan berbagai masalah baru dalam kehidupan, khusus
nya yang terkait dengan pembangunan pertanian. Itulah sebab nya, mengapa untuk
merespon kerisauan ini, Pemerintah dan DPR merasa penting untuk meluncurkan
payung hukum sekaliber Undang Undang guna mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan alih fungsi lahan pertanian pangan produktif ke non pertanian. UU No.
14/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, adalah
sebuah “jawaban” atas kekhawatitan banyak pihak terhadap semakin tidak
terkendali nya alih fungsi lahan sawah di negeri ini.
Namun begitu penting dicatat bahwa UU No. 14/2009
ini tidak lah mengatur soal “alih kepemilikan” lahan sawah dari seseorang ke
orang lain. Padahal, soal “alih kepemilikan” lahan sawah pun merupakan problema
yang dapat melahirkan “bom waktu” dalam kehidupan pembangunan pertanian. Salah
satu dampak yang mengemuka adalah semakin tidak berdaulat nya lagi para petani
terhadap lahan sawah yang diusahakan nya dan juga adanya gambaran bahwa yang
nama nya petani gurem dan petani buruh menjadi semakin besar jumlah nya. Sensus
Pertanian 2003 lalu sudah menyatakan demikian, dimana selama 1993-2003 telah
terjadi peningkatan jumlah petani gurem (petani yang memiliki lahan sawah
rata-rata 0,3 hektat. Bila mengacu pada fenomena yang terjadi selama sepuluh
tahun terakhir (1993-2003) maka dalam sepuluh tahun ke depan pun (2003-2013),
suasana nya tentu tidak bakal banyak berubah. Jumlah petani gurem dan buruh
tani akan semakin bertambah, petani akan semakin terpinggirkan dari keramaian
pembangunan, semakin termarginalkan dan juga akan semakin kehilangan kedaulatan
atas lahan sawah yang dimiliki nya.
Untuk itu, kini adalah saat yang tepat untuk
menginisiasi tentang perlu nya dirancang sebuah payung hukum setingkat UU yang
diharapkan mampu “mengendalikan” alih kepemilikan lahan sawah. UU ini
dimintakan juga sebagai “pendamping” UU 14/2009 yang hingga kini masih belum
operasional.
GRAND DESAIN PROGRAM GEMAR
Lazim nya, sebuah Program Pemerintah cenderung
akan dirancang dalam bentuk keproyekan yang biasa nya dibatasi oleh selang
waktu APBN/D. Pola dan pendekatan nya adalah proyek, sehingga ukuran nya kerap
kali ditetapkan selama tahun anggaran berlangsung. Setelah waktu keproyekan nya
selesai, maka secara administratif tuntaslah sudah kegiatan nya. Biasa nya
proyek tersebut bakal menjadi “kenangan indah” bagi sebuah APBN/D, dan dinilai
sukses. Para pegawai sibuk kembali merancang proyek baru lain nya. Hanya cerita
nya akan menjadi lain manakala diketahui ada penyimpangan atau perkeliruan
dalam pelaksanaan nya. “Kenangan indah” itu pun terpaksa dibuka kembali yang
biasa nya menjadi rumit, atau ada kala nya melahirkan korban yang mengenaskan.
Program Gemar, memang tidak dirancang dalam
bentuk keproyekan. Gemar sejak awal disiapkan dalam bentuk “gerakan”, yang
esensi nya memberi ruang kepada para pihak untuk mampu bersinergi melalui
sebuah koordinasi yang berkualitas. Dalam Program Gemar, diharapkan ada
kebersamaan dan keserempakan dalam berkiprah. Hal ini tampak dari ajuan awal
proposal yang disampaikan. Rata-rata proposal disusun sebagai “usaha bersama”
antara Gapokan dengan Petugas di lapangan. Jarang sekali ada Gapoktan yang
membuat sendiri proposal nya. Oleh karena itu, penting dicermati bahwa semenjak
perencanaan nya, Program Gemar memang disusun sebagai wujud “harmonisasi”
antara Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat.
Sebagaimana disuratkan dalam Peraturan Gubernur
nya, program Gemar pada inti nya diarahkan untuk meraih dua hal yang utama,
yakni meningkatkan pendapatan petani sehingga derajat kesejahteraan nya dapat
meningkat, dan yang kedua adalah sebagai ikhtiar untuk menciptakan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat. Selain ke dua tujuan diatas, tentu ada sasaran lain
yang ingin dicapai nya. Salah satu nya adalah apakah benar jika kendala utama
dalam pembangunan pertanian mau pun pembangunan petani adalah aspek permodalan
atau pembiayaan ? Bila hal ini menjadi kendala nya, maka Program Gemar mampukah
tampil sebagai solusi nya ? Jawaban atas masalah ini memang tidak bisa “sim
sala bim”. Hari ini ditanyakan maka besok akan ada jawaban nya. Gemar adalah
sebuah proses yang sangat membutuhkan ketelatenan dalam penanganan nya. Sebagai
mana hal nya suatu gerakan, maka Gemar perlu didekati secara sistemik. Mulai
dari perencanaan hingga ke monitoring dan evaluasi nya. Itu sebab nya, mengapa
analisis yang dipakai sebaik nya menggunakan mekanisme “ban berjalan”.
Dalam perjalanan nya, kehendak untuk menjadikan
proposal sebagai “kompas” ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Apa-apa yang
diteorikan di atas kertas, rupa nya tidak selalu kompak dengan fenomena yang
ada di lapangan. Akibat nya lumrah jika di beberapa Gapoktan peserta Gemar,
akan kita jumpai ada nya Gapoktan yang tidak 100 % taat asas terhadap Proposal
yang disusun nya. Perubahan “strategi” seperti ini kelihatan nya menjadi sangat
menarik untuk dijadikan bahan pelajaran yang baik, agar ke depan dapat kita
antisipasi segala kemungkinan nya. Termasuk di dalam nya kemauan untuk
melakukan “re-desain” terhadap paradigma program Gemar nya sendiri. Apakah itu
yang berkaitan dengan sisi regulasi, aspek kelembagaan, soal teknologi, sisi
rekayasa sosial-budaya, rekayasa ekonomi hingga ke soal-soal yang berkaitan
dengan aspek kelestarian lingkungan.
PARADIGMA MONEV
Berbasis pada pengamatan lapang, terekam adanya
fakta bahwa salah satu kekurangan program Gemar adalah lemah nya pola dan
mekanisme “monitoring dan evaluasi” (MONEV) yang dirancang. Pelaksanaan monev
seperti apa ada nya dan tetap mengacu pada pola lama, sebagaimana lazim nya
dalam memonev program-program yang sifat nya keproyekan. Sekali pun di
tiap-tiap tingkatan ada Tim Pembina, namun dalam pelaksanaan nya terlihat belum
optimal. Apalagi jika Tim tersebut tidak ditopang oleh anggaran yang memadai.
Untuk itu, kalau dalam sebuah keproyekan yang nama nya “monev” hanya ala kadar
nya, dimana dilakukan menjelang selesai proyek, dan dilaksanakan hanya beberapa
hari saja, maka dalam memonev sebuah gerakan, tentu nya pola semacam ini
penting untuk direvitalisasi.
Paradigma monev dalam sebuah gerakan, setidak nya
mesti memenuhi empat hal yang utama yaitu ada nya semangat pendampingan, tumbuh
nya semangat pengawalan, ada nya semangat pengawasan dan juga ada nya kemauan
untuk melakukan pengamanan terhadap program yang digelindingkan. Ke empat
indikator ini tentu harus dirajut sedemikian rupa, sehingga mampu mengedepan
secara sistemik, holistik dan komprehensif. Tugas kita adalah bagaimana
menterjemahkan ke empat hal diatas ke dalam langkah-langkah nyata di lapangan
dengan tetap mempertimbangkan “local wisdom” di masing-masing daerah.
CATATAN KECIL :
1. Progran Gerakan Multiaktivitas Ahribisnis
adalah sebuah “gerakan”. Salah satu tugas dan tanggungjawab kita dalam
mempersepsikan makna “gerakan” tentu akan sangat penting, khusus nya jika hal
itu kita kaitkan dengan tatanan dan mekanisme birokrasi.
2. Paradigma Monev sudah saat nya direvitalisasi.
Tawaran ada nya pola pendampingan, pengawalan, pengawasan dan pengamanan
menjadi hal yang pantas untuk dijadikan percik permenungan kita bersama.
3. Program Gemar jika dikelola sesuai dengan
semangat awal nya ditengarai bakal mampu memajukan pertanian Orang Sunda di
tengah keterbatasan lahan.
SUMBER :
http://perhepi.org/blog/2012/03/gerakan-multiaktivitas-agribisnis-pendekatan-memajukan-pertanian-orang-sunda-ditengah-keterbatasan-lahan/
Saya akan sangat merekomendasikan layanan pendanaan meridian Le_ kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan keuangan dan mereka akan membuat Anda tetap di atas direktori tinggi untuk kebutuhan lebih lanjut. Sekali lagi saya memuji diri sendiri dan staf Anda untuk layanan luar biasa dan layanan pelanggan, karena ini merupakan aset besar bagi perusahaan Anda dan pengalaman yang menyenangkan bagi pelanggan seperti saya. Semoga Anda mendapatkan yang terbaik untuk masa depan. Layanan pendanaan meridian adalah cara terbaik untuk mendapatkan pinjaman yang mudah, di sini ada email .. lfdsloans@lemeridianfds.com Atau bicaralah dengan Bpk. Benjamin Di WhatsApp Via_. 1-989-394-3740
BalasHapusTerima kasih telah membantu saya dengan pinjaman sekali lagi dalam hati yang tulus, saya selamanya berterima kasih.